Goresan tinta abu-abu pada segumpal awan putih diatas langit biru pada hari itu, seakan membuka tabir baru. Dunia yang aku tapaki ini, tidak selamanya berkawan manis denganku. Usia yang terus menggerogoti sendi-sendi yang kian merapuhkan tulangku, mau tak mau mengingatkan bahwa aku tak selamanya bisa melihat kefanaan yang indah dengan anugerah kedua mata ini dari Tuhan. Bentangan cakrawala luas berhias burung-burung menari berterbangan indah menuju pelabuhannya masing-masing, hanya sekedip terlihat lalu menghilang tertelan detik yang berlalu. Aku mengeryitkan dahi, lalu sejenak terlintas dalam benak: "Sekejap itukah aku menghirup nafas dan terhenti?".
Langit yang semula bergelayut biru menyejukkan mata yang memandang kagum karena ciptaan-Nya, berubah menyakitkan saat jarum merajuk bergeser dari persinggahannya. Mentari yang gagah berani menunjukkan kharismanya menyinari seluruh pelosok bumi, hingga lubang-lubang semut hangat akan sinar emasnya. Waktu bagai pedang yang terus menerus memotong memori kehidupan, hingga aku menemui waktu perpisahan dengan terang. Remang-remang senja di ufuk barat berkamuflase perlahan menjadi hitam kelam. Gelap gulita, tanpa rembulan yang tampakkan cahaya. Gelap, tanpa satupun sumber terang disini. Aku bertanya: "Apakah ini replika rasanya jika aku berada dibawah tanah nanti?".
Ketika mata yang digunakan untuk melihat tak mampu menggunakan fungsinya untuk melihat. Telinga yang bahkan enggan menggunakan fungainya untuk mendengar. Tangan yang berbicara jujur tanpa kebohongan. Hati tempat paling aman untuk bersembunyi yang akan berbicara tanpa basa basi. Kaki yang tak terkendali bersaksi kemana saja kita langkahkan ia pergi. Mulut yang tiada dusta lagi bercerita tentang segalanya yang kita perbuat di masa singkat dikala kita masih berada di dunia yang fana. Ketika semua daya upaya tak berguna, lantas apakah aku masih sanggup berbangga diri akan diriku?
Komentar
Posting Komentar
Thank you for visiting