Langsung ke konten utama

2019, terimakasih ya.


Halo, assalamu'alaikum. Alhamdulillah, aku balik lagi buat nulis disini. Setelah semalam aku nulis tentang pengalaman menjalani sekolah bahasa, kali ini aku mau berbagi cerita tentang perjalananku selama tahun 2019. Mungkin sedikit telat ya untuk nulis tentang refleksi tahun 2019. Tapi, better late than never, huh?

Tahun kemarin bisa dibilang tahun terberatku. Tahun dimana aku berusaha mencari jati diri. Berusaha mengerti apa kata hati. Mau dibawa kemana langkah kaki ini pergi? Mau disini atau diajak berlari? Ah, pokoknya nggak bisa diungkapin dengan kata-kata, betapa aku masih nggak menyangka bisa ada di posisi saat ini.

Ini ceritaku yang pengen aku bagi denganmu.

Awal tahun.

Setelah lulus dan resmi di wisuda tahun 2018, tepatnya bulan Oktober, aku mulai memantapkan hati untuk menyusun rencana demi rencana masa depan. Awalnya, aku kira bakal mudah karena aku terbiasa membuat rencana dan menjalankan sesuai apa yang udah aku tulis. Jujur, aku tipikal orang yang nggak suka ketika aku harus merubah rencana yang udah aku susun rapi. Ya, tipe-tipe perfectionist dan idealist. Sampai suatu ketika aku disadarkan bahwa aku hanya manusia yang bisa membuat berbagai tulisan indah, tapi tetep, Allah yang pegang kendalinya.

Dimulai dari aku gagal dapetin skor IELTS di trial pertama, sampai-sampai aku harus trial kedua. Walaupun aku akhirnya berhasil dapetin nilai yang aku targetin, tapi masih terbesit di hati ini kalo aku belum mencapai 'titik' dimana aku berhasil (dalam artian, sekali coba langsung dapet).

Berbekal skor itu, aku mulai mendaftar berbagai beasiswa--yang mana emang tujuanku adalah melanjutkan ke jenjang master setelah menyandang gelar sarjana. Aku mendaftarkan diri ke kampus impianku di Belanda di bulan Januari 2019. Kampus tersebut adalah kampus terbaik di Belanda dan kampus yang punya predikat terbaik nomor satu di dunia untuk bidangku. Betapa bahagianya ketika mendapatkan notifikasi bahwa aku lolos dan diterima di kampus tersebut. Namun, aku masih harus berjuang mendapatkan beasiswanya, karena kuliah di kampus dan negara tersebut tidaklah murah.

Ada tiga beasiswa yang aku coba  hingga bulan Februari 2019, salah duanya adalah beasiswa yang bisa memberi kesempatan buatku melanjutkan kuliah di kampus impian. Beasiswa tersebut adalah beasiswa pemerintah Belanda dan beasiswa Islamic bank yang mengizinkan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Segala usaha aku coba, hingga aku pun mendaftar kursus private beasiswa demi bisa mencapai tujuanku, mendapat beasiswa untuk kuliah di kampus tersebut. "Why are you so serious?", because I have been dreaming to take a part in that university since I was in 5th semester. Awal tahun yang berat, ya? Tapi aku menikmatinya, karena aku tau tujuanku, dan aku bersedia untuk berlelah-lelah demi meraihnya.

Belum waktunya.

Dengan segala daya upaya aku coba kerahkan, tapi nampaknya Allah punya rencana yang lebih baik buatku. Aku belum beruntung untuk mendapatkan ketiga beasiswa itu. Sedih? Aku hancur. Rasanya seperti jembatan yang aku bangun untuk mencapai mimpiku di seberang, roboh seketika. I was so hopeless at that time. It might sound exagerrated, but that was what I am feeling at that time. I was in terrible pain. Ayahku yang mengetahui hal ini sempat menawarkan untuk self-funded, tapi aku dengan tegas menolak. Prinsipku dari awal tetap: "kalau aku mau lanjut master di luar negeri, harus dengan beasiswa". Aku tidak mau membebani orang tuaku lebih jauh lagi.

Aku berusaha memulihkan diri cukup lama. Semakin tertekan dengan banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang menanyakan "bagaimana beasiswamu?", "kenapa nggak kerja aja?", "kamu nggak capek ngejar beasiswa?". Ditambah pula dengan banyaknya kabar teman-teman yang alhamdulillah sudah berhasil mencapai titik suksesnya masing-masing. Aku sempat merasa menjadi manusia yang worthless. Tidak berpenghasilan. Tidak ada yang patut dibanggakan. Yet, God is very kind to me. Semakin aku mendekat dan berpasrah, Allah seakan ngasih banyak jalan dan membantu aku untuk memulihkan hati. "Belum waktunya aja. Setiap orang akan berhasil di jalannya masing-masing, kok" kata hatiku.

Kesempatan lain.

Setelah berhasil pulih, aku mencoba pelan-pelan menata kembali rencana-rencanaku untuk bisa meneruskan perjuangan mendapat beasiswa. Tujuanku masih sama, yaitu benua Eropa. Sejak awal, aku hanya menulis berbagai goal beasiswa yang ditawarkan oleh pemerintah negara-negara Eropa maupun beasiswa yang berasal dari sumber lain yang mengizinkan penerimanya melanjutkan studi ke Eropa. Pada saat itu, aku mencoba peruntungan di beasiswa dari pemerintah Australia, pemerintah Amerika, dan pemerintah Polandia. Sebenarnya, Amerika nggak masuk ke dalam list beasiswaku. Tapi, tutor IELTS sekaligus kursus beasiswaku menyarankan untuk daftar aja, karena skor IELTS ku memadai untuk daftar di kampus-kampus Amerika. Walaupun orang tuaku agak ragu, tapi aku coba aja.

Selama sebulan, dari awal April sampai Mei, aku bergulat untuk menyelesaikan study plan dan thesis proposal sebagai syarat beasiswa-beasiswa tersebut. Dibantu oleh Ms. Yustika selaku tutorku, satu per satu persyaratan mulai selesai. Pertama, aku berhasil submit untuk beasiswa Amerika. "Ah tinggal dua lagi" pikirku. Ditengah proses pengerjaan, tiba-tiba ada salah seorang temanku yang menawarkan pekerjaan untuk menjadi tutor IELTS di Pare. "Wah, kesempatan lain nih. Apa salahnya dicoba?". Aku pun berdiskusi dengan orang tuaku dan tutorku. Ini aku lakukan karena aku harus pindah ke Pare, sementara selama ini aku tinggal di Malang--otomatis aku harus meninggalkan rutinitas les private. Hatiku bimbang, antara fokus beasiswa atau mendapatkan pengalaman lain yang belum pernah aku rasain sebelumnya, jadi tutor. Saat itu aku juga berpikir bahwa dengan menjadi tutor, bahasa Inggrisku akan terasah dan atmosfir pejuang beasiswa akan kuat terasa, mengingat biasanya orang-orang yang memutuskan mengambil kursus IELTS adalah orang-orang dengan tujuan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Aku akhirnya memutuskan untuk mengambil kesempatan ini dan pergi ke Pare.

Prioritas.

Hari-hariku setelah di Pare diisi dengan agenda mengajar. Sesekali aku sempatkan untuk mengerjakan aplikasi beasiswa Australia dan Polandia yang saat itu deadlinenya bersamaa, yakni 29 April 2019. Sempat keteteran, karena jam mengajarku dari pagi hingga sore. Malam hari yang aku pikir bisa diluangkan untuk mengerjakan proposal thesis dan study plan, malah berakhir di kasur karena aku sudah kelelahan. Mungkin, faktor adaptasi lingkungan dan cuaca juga jadi salah satu faktor yang membuat tubuhku gampang kelelahan. Seperti yang sudah bisa ditebak, aplikasi beasiswaku keteteran. Di rentang waktu tersebut, aku alhamdulillah sudah berhasil mengirim aplikasi untuk beasiswa Australia, tapi belum sempat menyelesaikan persyaratan untuk beasiswa Polandia. Aku kewalahan. Puncaknya, aku hampir aja kehilangan kesempatan beasiswa Polandia karena aku baru tau h-1 jam kalo beasiswa ini ditutupnya pukul 20.00 WIB atau 15.00 CET.

Disitu, aku panik. Aku pun langsung ambil HP untuk kontak tutorku, minta bantuan lewat telefon. Sementara aku panik karena proposalku belum selesai, aku juga lupa kalo ada rapat tutor wajib karena mau bahas modul dan kurikulum. Pertahananku runtuh, akhirnya aku nangis. Merasa salah menentukan skala prioritas saat itu membuatku merasa gagal untuk daftar beasiswa Polandia. Namun, lagi-lagi Allah dengan segala kebaikanNya mengirimkan aku tutor yang super sabar. Dengan tenang, beliau membimbing aku di waktu 1 jam itu untuk finishing proposal thesis. Aku juga meminta izin telat datang ke rapat malam itu karena harus menyelesaikan aplikasi beasiswa ini.

Masih mencoba tenang, aku mengerjakan beasiswa sambil gemetar dan menangis. Satu per satu syarat sudah aku cek dan proposal thesis pun berhasil aku kirim, alhamdulillah. Mau tau nggak aku kirimnya jam berapa? Iya, seperti kebiasaan jelekku, aku suka mepet-mepet melakukan hal-hal krusial gini. Aku kirim 4 MENIT sebelum pendaftaran DITUTUP. "Alhamdulillah, at least aku nggak nyesel karena udah ngerjain dan nggak ngirim" batinku. Dengan mata agak sembab, aku pun segera berangkat ke rapat karena udah telat 1 jam.

Apa aku layak?

Sebulan berlalu. Kelengahanku menentukan skala prioritas membuatku berpikir ulang untuk melanjutkan agenda mengajar di Pare. Tepat tanggal 18 Mei 2019, aku memutuskan resign. Langkah ini aku ambil karena aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Fokusku saat itu satu, dapat beasiswa untuk lanjut ke jenjang pasca sarjana. Aku tidak mau sampai tujuanku menjadi bias karena terlalu asik dengan rutinitas yang awalnya aku kira bisa membuat arahku lebih tertata.

Aku pun kembali ke Malang dan mulai mempersiapkan diri menghadapi medan tempur (lagi). Sembari menunggu pengumuman beasiswa Australia dan Polandia, aku mempersiapkan berkas untuk mendaftar beasiswa dari pemerintah Indonesia, yaitu LPDP. Beasiswa ini termasuk beasiswa yang prestige karena dana yang diberikan besar dan dari pemerintan sendiri (hehe). Kampus-kampus yang terdaftar untuk beasiswa ini pun cukup banyak dan tersebar di seluruh dunia. Siapa yang nggak tergiur? Sayangnya, walaupun kampus yang aku idamkan di Belanda masuk ke dalam daftar kampus beasiswa ini, tapi jurusanku tidak terdaftar sebagai jurusan yang berhak menerima beasiswa. Sedih banget. Tapi, at least, aku masih bisa daftar di salah satu kampus, dimana jurusannya 11:12 dengan jurusanku dan berlokasi di Swedia. "Ah, aku bisa daftar disana!".

Periode pendaftaran beasiswa tersebut dibagi menjadi 2 gelombang. Gelombang pertama sekitar Juli hingga Agustus, sementara gelombang kedua di bulan September-an (persisnya aku agak lupa ya, udah lama soalnya, please jangan dihujat wkkw). Aku pun meminta tolong tutorku lagi untuk membantu pembuatan study plan beasiswa sekaligus kampus, karena aku pengen udah pegang LoA (letter of acceptance) sebelum keterima beasiswa. "Buat jaga-jaga" pikirku. Dengan teliti aku siapkan semua syarat dan mulai mengerjakan study plan selama kurang lebih 2 minggu (ceritanya mau ngejar yang gelombang 1).

Hari-hari berlalu, hingga suatu pagi aku mendapat email. Rupanya email itu dari portal beasiswa Australia. Aku lupa tepatnya bulan apa, yang jelas saat aku baca email itu, aku sudah berusaha menegarkan diri, takut-takut kalau ditolak lagi. Benar aja, aku tidak lolos seleksi berkas untuk beasiswa Australia. Sekali lagi, aku patah. Mulai merasa worthless. Sampai-sampai, aku lupa dengan semua persiapanku untuk beasiswa Indonesia.

Di sela-sela mental breakdown ini, aku mencoba untuk mencari celah dimana aku bisa mengembangkan potensiku. Aku mulai mempersiapkan segala kemungkinan terburuk jika aku memang belum bisa lanjut S2 tahun 2019. Aku pun mencoba menulis lewat portal berita online, menjalankan bisnis clothing line dengan menjebol tabungaku yang aku kumpulkan selama ini untuk persiapan beasiswa, dan mencoba peruntungan beasiswa Asia dan dalam negeri--saking hopeless nya. Mulai menyiapkan diri lagi dengan berjuta pertanyaan-pertanyaan orang tentang masa depanku, yang orang tuaku sendiri pun bahkan tidak terlalu ikut campur. Kadang emang yang biking nge drop adalah ekspektasi orang lain terhadap kita. Itu yang aku rasakan selama kemarin berjuang untuk bisa dapet beasiswa. Mulai mempertanyakan diri: "Apa aku layak?", "Apa emang aku nggak pinter jadi nggak bisa dapet beasiswa ya?", "Mungkin aku emang gak punya kapasitas". Bahkan, aku sampai di titik merasa malu sama orang tua dan keluarga besarku. Maklum, aku adalah anak pertama dan cucu pertama di kedua keluarga besar. Pundakku cukup berat untuk menjadi panutan keluarga.

Nasihat.

Suatu hari, aku datang ke kampusku--salah satu kampus negeri terkemuka yang ada di kota Malang, Jawa Timur. Niatku untuk meminta surat rekomendasi beasiswa Asia kepada dosen pembimbing skripsiku, namanya Ibu Erni. Aku menyiapkan mental saat akan bertemu beliau. Sudah banyak aku merepotkan beliau untuk meminta tanda tangan dan saran ide proposal thesis untuk daftar beasiswa. Tapi sampai detik itu, aku belum juga berhasil tembus beasiswa manapun.

Beliau saat itu sudah ada di ruangan saat aku mengetuk pintu dan memulai berdiskusi. Aku membuka pembicaraan dengan mengutarakan niatku untuk banting setir ke beasiswa Asia (Asia Tenggara) dan memilih salah satu kampus yang menurutku bagus untuk level Asia. Beliau langsung memotong pembicaraanku dan memberi nasihat yang sampai saat ini aku ingat dengan jelas (kurang lebih begini): "Kenapa kamu tiba-tiba berubah haluan? Kalau kamu ke kampus itu, ya lebih baik di UB aja. Apa bedanya?" katanya. Aku hanya senyum kecut dan terdiam. Beliau pun melanjutkan "Gini lho, nduk. Kamu emang kuliah untuk cari ilmu, cari gelar, tapi jangan hanya itu yang jadi tujuan utamamu. Kalau kamu kuliah disini (read: kampus yang aku tuju), lingkunganmu ya ini-ini aja, nggak berkembang. Kuliah sana yang jauh ke Eropa, Amerika, Australia. Disana kamu bisa ketemu sama banyak orang baru, budaya baru, dari seluruh dunia. Biar kamu lihat dunia yang lebih luas, belajar jadi orang open-minded, nggak cuma di kelas dan gelar, tapi pengalaman itu yang mahal". Kaget dengan apa yang beliau ucapkan, aku hanya terdiam sambil meresapi nasihat beliau dalam-dalam. Selesai berdiskusi, aku pun mengucapkan terimakasih kepada Bu Erni dan bergegas pulang. Di jalan, kata-kata beliau masih terngiang. "Sama seperti yang Ayah selalu nasihatkan ke aku" batinku. Api semangatku dipantik, membara lagi.

Mulai lagi.

Nasihat dosenku (yang sebenarnya sudah sering diobrolin sama Ayahku) rupanya cukup membuat aku kembali ke track awal. Track untuk melanjutkan S2 ke benua biru. Pelan-pelan aku mulai menghidupkan ritme lagi yang udah lama banget kendor. Aku mulai dateng lagi ke les dan bergulat dengan study plan. Rasanya sampe mau gumoh liat tulisan ini dan itu lagi secara berulang-ulang. Kalo nggak salah, bulan itu adalah bulan Agustus. Deadline beasiswa Indonesia semakin dekat (ini aku nggak jadi ambil gelombang 1, mundur ke gelombang 2 gara-gara mental breakdown). Tapi, yang namanya hampir 8 bulan lamanya bergulat dengan hal yang sama, aku jenuh juga. "Baru termotivasi kok udah jenuh lagi?". Ya manusiawi. Di titik itu rasanya aku mau rebahan dulu, istirahat sebentar.

Saat aku sedang menikmati malam dengan rebahan, tiba-tiba dering notifikasi WhatsApp ku bunyi. Rupanya kakak tingkatku, yang barusan berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi S2 nya disana, mengirimiku sebuah foto. Bisa ditebak foto apa? Iya, foto di dekat dormitory, dekat kampus idamanku, Wageningen University. Caption yang beliau tulis kurang lebih begini: "Ayo sil! Kapan kesini?". Disitu aku heboh karena baru tau kalo kakak tingkat yang juga sering banget bantu aku untuk urusan per-beasiswa-an ini sudah sampai disana. Aku pun membalas pesannya begini "Wah! Masya Allah, doai ya mas aku bisa segera nyusul kesana". Oh iya, for your information, pesan ini dikirim tanggal 19 Agustus 2019 waktu Indonesia. Membaca pesannya dan melihat foto itu, lagi-lagi, memancing semangatku. Bukan apa-apa, karena aku sangat ingin melanjutkan kuliah ke Belanda. Aku pun bilang ke beliau "Mas, aku kayaknya mau daftar LPDP dan StuNed untuk tahun depan". Beliau membalas dengan support dan nasihat supaya aku membuat skala prioritas lagi dan fokus.

Setelah perjalanan panjang. 

Hari itu, tanggal 20 Agustus 2019. Hari setelah aku mendapatkan pesan dari kakak tingkatku, aku mulai menyusun (lagi) strategi untuk bisa tembus beasiswa, terutama LPDP yang sudah ada di depan mata dan merencanakan strategu supaya bisa tembus StuNed. Aku pun sibuk lagi dengan kertas dan ballpoint untuk menyusun plan A-E untuk beasiswa ini.

Tidak terasa, matahari mulai tergelincir ke ufuk barat. Badanku yang kurang fit hari itu dikejutkan oleh notifikasi hapeku yang berbunyi. Notifikasi yang sudah berbulan-bulan ini nggak terdengar nyaringnya. Notifikasi yang aku atur untuk grup pendaftar beasiswa Ignacy Łukasiewicz 2019. Seorang applicant mengabarkan kalo pengumuman beasiswa sudah bisa dilihat di website resmi NAWA--lembaga pemerintah Polandia yang memberikan beasiswa. "Oh iya, beasiswa ini kan belum pengumuman" ujarku kaget, karena jujur aku lupa. Dengan mencoba tenang dan tidak berharap banyak (takut kecewa setelah sebelum-sebelumnya gagal) aku akses website tersebut. Mencari menu "announcement" yang akhirnya aku temukan dan aku klik. Disitu, muncul sejumlah nomor pendaftaran yang aku sendiri nggak hafal nomorku berapa. Aku segera cek di email karena saat mendaftar dulu, terdapat email konfirmasi yang mencantumkan nomor pendaftaran di dalamnya. Segera setelah mendapat nomorku, aku cek lagi pengumuman berupa dokumen pdf yang sudah aku download. Sambil scrolling, aku sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk. Mula-mula aku nggak menemukan nomorku. "Ah, kayaknya gagal lagi". Sampai pada 3 nomor terakhir, ada nomor pendaftaranku yang tersempil diantara nomor lain. "Ya Allah, aku lolos ini?".

Nggak mau terlalu excited, aku coba download lagi sebanyak 4x dan cek semua media sosial beasiswa tersebut--saking takutnya kalo ini hanya hoax. Semuanya mengarah pada website yang sama--website NAWA yang berisi dokumen yang sudah aku download 4x. Sontak aku menangis. Aku telfon Ibu untuk mengabarkan info bahagia ini. Aku juga coba telfon teman dekatku, Dimas, untuk kasih kabar baik ini. Setelah memberitahu kabar ini ke orang-orang terdekat, aku langsung sujud syukur. "Ya Allah, jadi ini jawaban doanya. Ini yang terbaik buat aku?" ujarku sambil terisak.
Mimpiku untuk melanjutkan pendidikan ke benua biru, Allah kabulkan. My God has always been kind to me. Kabar ini sekaligus menjadi hadiah ulang tahunku yang ke 23 tahun. Kado terindah selama perjalanan umurku hingga saat ini. Tidak henti aku bersyukur kepada Allah, kepada orang tua, dan kepada mereka yang sudah membantu aku melewati jalan berkerikil yang super duper membuat aku hampir aja kehilangan arah. Memang benar kata-kata yang sering Ayahku berikan buatku: Man Jadda Wajada (siapa yang berusaha akan berhasil) dan Man Shabara Zafira (siapa yang sabar akan beruntung).

2019, terimakasih ya.


Budapest, Hungary.
Warsaw, Poland.
Paris, France.
Berlin, Germany.
Amsterdam, the Netherlands
Vienna, Austria

Perjalananku untuk dapetin mimpi-mimpi yang sudah aku tulis emang nggak pernah mudah. Sejak SD sampai kuliah, ada aja ujiannya. Tapi dari semua jalan yang berliku-liku ini, aku jadi belajar. Bagaimana manusia itu bisa bertahan dan semakin kuat ketika ditempa, diberi banyak ujian maupun cobaan. Bagaimana manusia itu bisa keluar dari zonanya, melebihi kapabilitas yang dia punya, bahkan kadang dia sendiri yang membatasinya. Bagaimana Allah begitu baik kepada hambaNya, memilihkan yang terbaik, yang hanya Dia yang tahu ada apa dibalik semua skenario yang sudah dibuat olehNya.

2019 was a tough year for me, yet full of lessons. Aku belajar menghargai diri sendiri di tahun ini, Bagaimana aku selalu menyalahkan diri ketika aku gagal. Tidak percaya pada kemampuan yang aku punya. Lebih mendengarkan apa kata mereka daripada mengikuti kata hati. Bagaimana aku berjuang untuk kembali pulih di tengah-tengah derasnya tuntutan sosial yang ada. Duhai diri, terimakasih banyak sudah mau berjuang sejauh ini. Kamu capek, aku tau. Tapi bertahan ya, masih ada jalan di depan yang harus dilalui. Maaf terlalu membebanimu, tapi kali ini aku akan istirahat dan berusaha peka kalau kamu lagi butuh bernafas sebentar.

2019, terimakasih ya. Aku nggak tau kalau nggak ditempa begini, apa aku bisa berada di titik, dimana aku sendiri belum bisa percaya kalau aku sudah disini. Satu mimpiku berhasil aku check list. 2020, sekarang saatnya berjuang lagi. Ini belum selesai, dan sepertinya nggak akan pernah selesai, sampai lahat menjadi tempat kembali. 2020, harus jadi manusia yang lebih baik, bermanfaat bagi sesama, lebih memahami agama, dan lebih bisa memanusiakan manusia ya. Aamiin.

Jadi, itu tadi ceritaku. Panjang ya? Tapi aku lega bisa bercerita sedetail ini. Semoga apa yang aku tulis bermanfaat dan bisa jadi pelajaran buat kita semua ya. Aamiin.

See you next time!

Casilda Aulia Rakhmadina


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seputar Ilmu dan Teknologi Pangan (Food Science and Technology)

Assalamualaikum wr. wb. Hai bloggies! Ketemu lagi dengan saya di malam nan sendu dan syahdu habis ujan yang baru aja berhenti hehe. Nah, kali ini saya bakalan share sedikit nih tentang jurusan kuliah saya. Yap, Teknologi Hasil Pertanian program studi Ilmu dan Teknologi Pangan atau bahasa kerennya Food Science and Technology. Di tulisan ini, In shaa Allah saya akan share mengenai apa aja yang dipelajari di program studi ini, prospek ke depannya bagaimana, title yang didapat nanti apa dan masih banyak lagi. Saya niatin bikin tulisan ini udah lama banget tapi baru kesampaian sekarang karena alhamdulillah program studi ini peminatnya tiap tahun terus meningkat dan dicari! Wah, mantab kan? Yuk langsung aja kita bedah, Ilmu dan Teknologi Pangan! What is Food Science and Technology? Ilmu dan Teknologi Pangan atau dikenal dengan istilah Food Science and Technology mempunyai dua pengertian yang berbeda. Food science atau ilmu pangan adalah ilmu yang mempelajari tentang reaksi fisik

Arti Nama *CASILDA* dalam SEJARAH ISLAM :)

Dia adalah Casilda, seorang gadis cantik tawanan gerombolan kaum muslimin. Katakanlah bahwa yang menawan Casilda adalah sebuah gerombolan. Sebab mereka terdiri dari anak-anak muda muslim yang mengalami nasib yang sama. Sama-sama diperlakukan sadis oleh orang Spanyol. Keluarga mereka habis dibantai. Desa mereka dibakar. Terbayang kembali dalam memori pemuda berusia dua puluh tahun yang bernama Ja’far. Desanya yang terletak di ketinggian gunung itu sebelum diserang oleh orang-orang Spanyol, merupakan  desa aman dan tentram. Ketentraman ini membuat desa-desa lain di sekitarnya merasa iri hati. Ketenangan desa dicapai melalui sebuah perjanjian antara pihak Spanyol dengan penduduk desa. Bahwa tentara Spanyol tidak akan mengusik ketenangan desa yang penduduknya semua muslim. Imbalannya ialah dengan menyerahkan upeti dalam jumlah yang sangat besar. Tetapi dasar Spanyol. Beberapa tentaranya haus darah. Mereka menyerang desa Santa Gumara yang dekat dengan Saragosa itu. Semua

Sajak : Diam Lebih Baik (Silent is better)

Amarah yang datang menghampiri Terkadang membuatku diperdaya Panas membara didalam dada Ah.. serasa semua terkena imbasnya Tapi aku lebih memilih diam Karena aku tahu, hanya diamlah cara terbaik meredam amarah Saat aku mendapati beribu kekecewaan Seakan hati ini tak kuat bertahan Ingin rasanya berteriak sekencang yang aku bisa Menyalahkan takdir yang diberikan Sang Kuasa Tapi aku lebih memilih diam Karena aku tahu, jika aku terlalu banyak membicarakan kekecewaan itu Maka ia akan semakin membakar hatiku Ketika aku bersedih Aku hanya bisa menahan Mencoba meredamnya lebih dalam Bahkan airmata yang telah menetespun, aku seka Dan sekali lagi Aku lebih memilih diam Karena aku tidak ingin membagi kesedihanku kepada orang lain Cukuplah aku dan Allah yang tahu Mungkin ini adalah salah satu hal yang sulit Mencintai seseorang dalam diam Diam-diam mendoakannya dalam malam Tak luput menyebut namanya didalam setiap doa yang terpenjat Kenapa lebih memilih diam? Karena aku