Langsung ke konten utama

Waktu

Semalam, aku menghubungi salah satu sahabat yang sekarang lagi menikmati masa-masa merantau karena dia harus bekerja disana. Hal yang belum pernah dia rasaian sebelumnya. Melewati hari-hari tanpa orang tua, sementara teman-teman, sahabat-sahabatnya sewaktu sekolah sampai kuliah pun sudah punya kehidupan masing-masing.  Merasa tertinggal, terasing, di tanah perantauan bukan hal yang mudah. Apalagi itu merupakan pengalaman pertama, jauh dari sanak keluarga yang biasanya bisa memberikan support moral yang lebih pas kita lagi jatuh-jatuhnya. Belum lagi harus adaptasi dengan lingkungan baru dan karakter beratus-ratus orang yang jenisnya udah hampir mustahil aku sebutin satu-satu disini. Di satu sisi, pengalaman baru pasti akan membentuk diri kita yang baru. Entah dalam hal pemikiran, kebiasaan, perilaku sehari-hari, memperluas lingkaran pertemanan, menambah wawasan, dan membuka pikiran akan hal-hal yang kita ngga pernah tau sebelumnya. Namun, di sisi lain, segala dinamika itu kadang membuat kita jenuh dan pintar-pintar memosisikan diri jadi seseorang yang "reliable" dan "easily adapted". That's incredibly complicated though

Mungkin sebagian dari diri kita ada yang seakan-akan bilang "ah, mungkin aku aja yang terlalu baper atau belum kebiasaan, nanti lama-lama terbiasa kok". Lalu secara bersamaan sisi yang lain seperti berujar "emang semua ini beda banget, rasanya aku pengen kembali ke fase dimana aku bener-bener bisa relate sama semua hal, termasuk kolega". Well, tidak ada yang salah sama sekali kok kalo kita punya pemikiran demikian. Menurutku, kita masih beradaptasi dengan segala sesuatu yang baru. Kita dituntut--mau tidak mau--harus bisa menelan semuanya dalam satu waktu. Sebagai contoh, saat kita kuliah semuanya terasa lebih mudah, bukan? Kita bisa mengeksplorasi potensi diri dengan mengikuti berbagai macam unit kegiatan mahasiswa (UKM), memilah dan memilih teman lalu membentuk lingkaran pertemanan karena kita merasa bisa nyambung, satu pola pikir, bahkan satu visi misi, perasaan menerima, memahami, memaklumi sudah menjadi hal biasa jika kita berada dalam wadah organisasi atau suatu kepanitiaan yang sama, rasa toleransi masih hangat hingga ngga berasa udah seperti keluarga. Nikmat? Tentu. Seneng? Pasti. Tapi, apa bisa seperti itu lagi?

Image result for time
Picture Source: Arsctechnica.com

Berbicara tentang waktu adalah hal yang buatku sedikit menakutkan. Bagaimana tidak? Kita berjalan terus ke depan tanpa diberi kesempatan untuk bisa sedikit mundur ke belakang, merasakan kembali hal-hal terbaik yang pernah kita lalui. Kita dipaksa untuk terus mencoba hal-hal baru di depan yang mungkin kita juga tidak tahu medannya seperti apa. Hal ini yang terkadang bikin kita ingin terus hidup di masa lalu. Berada pada zona nyaman bersama memori-memori yang kita buat di masa kejayaan kita. Tapi, bukankah manusia itu hakikatnya ingin terus berkembang? Menjadi pribadi yang kaya akan kemampuan dan pengalaman? Bukankah berdiam diri di satu tempat (mungkin) bisa menjadi penghalang kita untuk bisa mengetahui potensi diri yang (justru) baru diketahui saat kita menjejakkan kaki di dunia luar? Kalau kata teman-temanku sih, dunia nyata (welcome to the jungle, buddy). 

Perjuangan untuk survive di fase yang baru ngga bakal kita ketahui kalau kita tidak melebarkan sayap ke arah sana. Kita ditempa dan digembleng untuk mengerjakan hal-hal diluar kebiasaan sekaligus bergabung dengan tim yang berisi berbagai macam orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Tentu saja akan ada culture shock (in some cases) karena menjadi sesuatu yang extraordinary pada awalnya. Menyamakan beberapa isi kepala untuk mengambil sebuah keputusan dan merendahkan ego untuk tidak memaksakan sebuah pendapat tentu butuh latihan dan pengalaman. How to tackle this situation? Disinilah letak kita mulai berkembang. When we experienced something new, forced to handle that, then we will learn and develop to a person who has good capability (it can be on your wide perspectives or anything else)

Masih berbicara tentang waktu, seperti yang aku sampaikan tadi bahwa ada kekhawatiran bahwa kita akan ditinggal oleh teman-teman atau sahabat-sahabat kita yang dulu sering banget berhubungan sama kita. Aku juga sedang mengalami hal yang sama. Merasa sendiri, sementara teman-teman dan sahabat-sahabatku yang lain kebanyakan sudah bekerja, ada yang kuliah, bahkan berbisnis. But, why am I left here? Well, lagi-lagi itu masalah fase. Kita tidak mungkin bisa menuntut waktu mereka lagi karena saat ini mereka tengah menapaki fase kehidupan selanjutnya. Ada yang berkarir hingga berumah tangga. Disini, kita dituntut untuk memahami porsi kita sebagai seorang teman atau sahabat. Karena fase yang dilalui sudah berbeda, tentu saja ada hal-hal lain yang patut kita pertimbangkan sebelum kita mempertanyakan "kenapa ngga bisa seperti dulu lagi?". Contohnya, aku punya sahabat dekat yang sudah menikah. Dulu, hari-hariku isinya chatting sama dia sampai malam, membicarakan berbagai macam hal, mulai dari cita-cita sampai pernikahan. Hingga akhirnya dia duluan yang mencapai fase pernikahan. Sejak saat itu semuanya berubah, bahkan chatting-an pun sudah hampir ngga pernah karena dia sibuk bekerja sekaligus mengurus rumah tangganya. Disini, apakah aku harus merasa 'ditinggalkan'? Awalnya mungkin iya, tapi lama-lama aku berpikir bahwa dia memiliki kewajiban lain untuk mengurus pasangannya dan bekerja. Fasenya sudah berbeda dan tidak pernah lagi bisa sama. Tuntutan, amanah, tanggung jawab, dan peran yang dilakukan tiap individu sudah pasti akan berbeda dan semakin berat di tiap fase yang dilalui. Nah, disini aku harus paham bahwa semakin bertambahnya usia, pelan-pelan semua 'hal' akan bergeser menuju 'jalannya' masing-masing. Mungkin buatku, fase tersebut belum 'layak' untuk aku rasakan, sehingga aku masih berkutat di fase saat ini. Jadi, ngga perlu terlalu membandingkan tahap yang mereka sedang nikmati sekarang dengan tahap yang kita sekarang rasakan. Semua punya porsinya masing-masing.

Menurutku, yang wajib banget kita perhatikan adalah seiring berjalannya waktu yang menggerus usia, sudahkah kita berikhtiar sebaik-baik mungkin untuk menjadi pribadi yang lebih baik? Paling tidak, untuk diri kita sendiri? Sudahkah kita berjalan menuju perubahan yang positif? Atau justru kita masih begini-begini aja, stuck di keadaan saat ini? Di sisa usia yang kita punya (entah sampai kapan), mau dipergunakan untuk apa? Bermanfaat atau tidak? Bagaimana caranya untuk menggunakan kesempatan ini berbuat lebih baik, untuk diri kita dan orang lain? Aku juga masih memikirkan hal yang sama, bahkan hingga detik aku menulis tulisan ini. Semoga apa-apa yang kita lalui, fase-fase kehidupan yang kita sedang nikmati, tak membuat kita luput untuk bersyukur, memaknai hidup dengan sebaik-baiknya. Meningkatkan pemahaman bahwa waktu sungguh tidak dapat diputar kembali. Masa-masa terbaik kita sudah dilalui, tinggal bagaimana kita menata masa depan yang (harusnya) bisa lebih baik. Hapus kekhawatiran berlebih karena ketakutan-ketakutan kita sendiri. Sungguh, akal berpikir dan nalar kita terbatas. Kekhawatiran bisa menimbulkan ketidakpercayaan akan takdir yang sudah dituliskan dan apa-apa saja yang sudah diusahakan. Tetap percaya bahwa segala sesuatu sudah ada jatahnya masing-masing, tidak kurang tidak lebih. Tetap berusaha dengan sebaik-baik yang kita bisa. Semoga nanti kita bisa bercerita tentang perjuangan yang sudah kita lakukan untuk mencapai titik ini. Tentu saja, dengan memahami ritme dari "waktu" itu sendiri.


Regards,


Casilda

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seputar Ilmu dan Teknologi Pangan (Food Science and Technology)

Assalamualaikum wr. wb. Hai bloggies! Ketemu lagi dengan saya di malam nan sendu dan syahdu habis ujan yang baru aja berhenti hehe. Nah, kali ini saya bakalan share sedikit nih tentang jurusan kuliah saya. Yap, Teknologi Hasil Pertanian program studi Ilmu dan Teknologi Pangan atau bahasa kerennya Food Science and Technology. Di tulisan ini, In shaa Allah saya akan share mengenai apa aja yang dipelajari di program studi ini, prospek ke depannya bagaimana, title yang didapat nanti apa dan masih banyak lagi. Saya niatin bikin tulisan ini udah lama banget tapi baru kesampaian sekarang karena alhamdulillah program studi ini peminatnya tiap tahun terus meningkat dan dicari! Wah, mantab kan? Yuk langsung aja kita bedah, Ilmu dan Teknologi Pangan! What is Food Science and Technology? Ilmu dan Teknologi Pangan atau dikenal dengan istilah Food Science and Technology mempunyai dua pengertian yang berbeda. Food science atau ilmu pangan adalah ilmu yang mempelajari tentang reaksi fisik

Arti Nama *CASILDA* dalam SEJARAH ISLAM :)

Dia adalah Casilda, seorang gadis cantik tawanan gerombolan kaum muslimin. Katakanlah bahwa yang menawan Casilda adalah sebuah gerombolan. Sebab mereka terdiri dari anak-anak muda muslim yang mengalami nasib yang sama. Sama-sama diperlakukan sadis oleh orang Spanyol. Keluarga mereka habis dibantai. Desa mereka dibakar. Terbayang kembali dalam memori pemuda berusia dua puluh tahun yang bernama Ja’far. Desanya yang terletak di ketinggian gunung itu sebelum diserang oleh orang-orang Spanyol, merupakan  desa aman dan tentram. Ketentraman ini membuat desa-desa lain di sekitarnya merasa iri hati. Ketenangan desa dicapai melalui sebuah perjanjian antara pihak Spanyol dengan penduduk desa. Bahwa tentara Spanyol tidak akan mengusik ketenangan desa yang penduduknya semua muslim. Imbalannya ialah dengan menyerahkan upeti dalam jumlah yang sangat besar. Tetapi dasar Spanyol. Beberapa tentaranya haus darah. Mereka menyerang desa Santa Gumara yang dekat dengan Saragosa itu. Semua

Sajak : Diam Lebih Baik (Silent is better)

Amarah yang datang menghampiri Terkadang membuatku diperdaya Panas membara didalam dada Ah.. serasa semua terkena imbasnya Tapi aku lebih memilih diam Karena aku tahu, hanya diamlah cara terbaik meredam amarah Saat aku mendapati beribu kekecewaan Seakan hati ini tak kuat bertahan Ingin rasanya berteriak sekencang yang aku bisa Menyalahkan takdir yang diberikan Sang Kuasa Tapi aku lebih memilih diam Karena aku tahu, jika aku terlalu banyak membicarakan kekecewaan itu Maka ia akan semakin membakar hatiku Ketika aku bersedih Aku hanya bisa menahan Mencoba meredamnya lebih dalam Bahkan airmata yang telah menetespun, aku seka Dan sekali lagi Aku lebih memilih diam Karena aku tidak ingin membagi kesedihanku kepada orang lain Cukuplah aku dan Allah yang tahu Mungkin ini adalah salah satu hal yang sulit Mencintai seseorang dalam diam Diam-diam mendoakannya dalam malam Tak luput menyebut namanya didalam setiap doa yang terpenjat Kenapa lebih memilih diam? Karena aku